Sabtu, 29 November 2008

Musik Kampung(an)ku "Indonesia"


Ada sebagian anggapan yang mengatakan bahwa dangdut adalah musik kelas bawah. Ini dijelaskan oleh berbagai hal. Pertama, “goyangannya” yang lebih dominan memancing birahi. Kedua, dangdut adalah milik kaum pekerja. Dan, pamornya tidak “kren” seperti musik Barat, yang dianggap lebih “kren”. Benarkah?


Dangdut adalah musik produk Indonesia. Maka, apa pun ceritanya, kita seharusnya berbangga dengan dangdut. Potongan lirik lagu “Project Pop” yang menyebutkan: “Dangdut is the music of my country”, setidaknya menunjukkan kebanggan itu di tengah pamor dangdut yang sering dicap miring oleh berbagai kalangan.

Dalam artikelnya (“Kami Tak Berhenti Begadang”) dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Faruk HT menjelaskan, dangdut adalah musik yang digemari oleh kelompok masyarakat marginal atau yang termarginalkan, baik secara ekonomis maupun secara geografis (Newsletter KUNCI No 12 Juni ‘03).

Lebih lanjut ia menulis, dari segi ekonomis, dangdut merupakan musik yang digemari oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, misalnya para buruh di perkotaan. Dari segi geografis, dangdut merupakan musik yang hidup dan dihidupi oleh kelompok masyarakat yang ada di pinggiran, baik pinggiran kota, pedesaan, maupun pesisir.

Ya, stereotip terhadap dangdut itu sendiri memang masih sering menjadi “pengganggu” bagi sebagian orang untuk menikmati dangdut. Ini erat kaitaanya juga dengan gengsi musik. Padahal, musik dangdut itu sendiri tak selalu mengarah ke fantasi seksual. Beberapa musisi dangdut telah mencoba menggiring dangdut dari anggapan itu. Barangkali Rhoma Irama adalah salah satunya.

Di grupnya yang bernama SONETA itu, Rhoma Irama setidaknya telah mencoba membawa image dangdut ke arah yang lebih positif. Ini ia lakukan dengan cara menyisipkan pesan-pesan moral dan nilai-nilai religius dalam lirik lagunya. Dan setidaknya apa yang telah dilakukan Rhoma, telah mengangkat pamor musik dangdut. Dangdut perlahan bukan lagi dianggap hanya untuk kalangan bawah. Namun perlahan juga maju ke kancah musik internasional. Tidak bisa dipungkiri, dangdut adalah salah satu ikon Indonesia, bukan?
Belakangan musik dangdut kembali menjadi pusat perhatian masyarakat.

Media televisi, yang belakangan menyelenggarakan program kontes dangdut dalam skala nasional telah menunjukkan bahwa musik dangdut tidak boleh dipandang sebelah mata. Kontes Dangdut TPI misalnya, yang ternyata banyak mengundang perhatian masyarakat untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Kontes ini sekaligus telah melahirkan artis-artis dangdut baru. Mereka barangkali akan menjadi generasi penerus genre dangdut di kancah musik Indonesia.

Menyinggung anggapan miring itu, mereka yang memilih bermusik di genre dangdut pasti dengan tegas akan menampisnya. Salah satunya di antaranya adalah Lusi Lizana, kontestan yang berhasil masuk ke ranking 10 besar Kontes Dangdut TPI (KDI) 3, beberapa waktu lalu.

“Saya pikir, angggapan orang yang mengatakan bahwa musik dangdut adalah musik kelas bawah dan murahan, itu tidak selamanya benar. Buktinya dangdut sekarang ini sudah dikenal di tingkat intenasional. Saya tidak setuju kalau dikatakan begitu. Itu anggapan orang yang munafik saja barangkali,” komentar Lusi Lizana (22) kepada The Muse baru-baru ini.

Lusi sendiri berpendapat dangdut justru memiliki kelebihan tersendiri bila dibandingkan dengan musik lain. Menurutnya, dangdut bukan hanya suara dan “goyangan”. Pada musik dangdut, karakter vokal juga harus mendukung. “Tidak semua orang barangkali bisa menyanyi dengan nada cengkok,” ujarnya bangga.
Menyinggung soal “goyangan”, Lusi berpendapat lain. Baginya, dangdut tak selalu harus dibarengi dengan goyangan erotis. “Memang banyak orang yang selalu beranggapan goyang dangdut itu ke arah birahi. Sebenarnya hanya segelintir penyanyi dangdut saja yang begitu. Akibatnya, dangdut itu disamakan semua,” belanya.

Barangkali Lusi benar. Sebut saja misalnya Ike Nurjanah dan Iis Dahlia yang menurut Faruk HT, keduanya tampil berbeda dalam menyanyi dangdut. “Ike Nurjanah dan Iis Dahlia mungkin dua di antara sedikit penyanyi dangdut yang tampil berbeda, yang mengutamakan keindahan dan keanggunan daripada kekuatan dan seks, dalam menyanyi dangdut. Tapi, hal itu tidak akan dapat mengubah musik dangdut menjadi musik elitis,” tulis Faruk.

Pendapat senada terdengar dari kalangan akademisi musik Medan. Staff pengajar di Fakultas Bahasa dan Seni Unversitas Negeri Medan (UNIMED), Panji Suroso berkomentar, aggapan yang mengatakan musik dangdut yang seringkali diidentikkan dengan stereotipe itu (seks misalnya) tak seharusnya terjadi pada musik dangdut.

“Pada dasarnya dangdut itu tidaklah serendah itu. Kalau kita melihat sejarahnya, musik dangdut ini kan banyak terpengaruh dari musik Melayu. Jika belakangan ada anggapan bahwa dangdut hanya mengutamakan ‘goyangan’ seksi, itu dikarenakan oleh ulah beberapa pedangdut yang mengeksploitasinya demi kepentingan yang tidak bertanggungjawab,” komentarnya.

Selain itu, Panji menilai, jika ada yang mengganggap musik dangdut itu lebih cenderung ke arah negatif (pengumbaran imajinasi seks - Red), maka hal itu juga perlu diklarifikasi kembali. Ini seperti mencermati pengertian kata “pornografi”, yang belakangan sempat heboh menjadi bahan wacana di tengah masyarakat.

“Sekarang begini, apakah ‘goyangan’ dangdutnya yang menjadi pencipta birahi bagi penontonnya, atau pikiran penontonnya itu sendiri yang masih belum bisa memahami sejauh mana arti sebuah ‘goyangan’ dalam musik dangdut itu sendiri,” ujarnya.

Begitulah dangdut, yang pada kenyataannya telah menjadi sebuah musik yang tak akan pernah lepas dari masyarakat kita. “Kita harus bangga dengan dangdut. Karena, dangdut adalah salah satu musik produk negeri kita,” sambungnya.

Ini seperti yang dikatakan etnomusikolog Ben Pasaribu, bahwa dangdut setidaknya telah memberi kebanggaan tersendiri bagi Indonesia. Karena, dangdut juga merupakan salah satu musik yang diakui keberadaannya di dunia, sejajar dengan genre musik lain, yang sifatnya universal. “Dangdut sekaligus menjadi penunjuk identitas Indonesia,” katanya. Tak terkecuali Medan (Sumatra Utara – dulu Sumatra Timur - Red). Karena, dangdut juga tak lepas dari akar musik Melayu. (*)
Emangnya Kampung Kita dimana ? Amerika …

First Publish On Harian Global Medan

Tidak ada komentar: